Cerpen: Kekasih dalam Bayangan
Rinai hujan
telah membasahi bumi sejak 2 jam yang lalu. Nyanyian hujan yang seolah berbalut
kepiluan, membalut bumi dalam selubung tipis kesunyian.
Hanya, bukan
itu yang membuat hatiku sedemikian pilu. Rinai hujan hanya pendukung, dari
pemeran utama yang membuat hatiku berderai hancur.
Air mataku mengalir,
tak ingin kalah dengan hujan yang jatuh sesorean ini. Aku bahkan tak sudi lagi
menghapus untaian kristal bening itu, yang begitu tak tahu malu terus mengalir
meski telah kusapu berkali-kali.
Dia, laki-laki
yang tengah bersimpuh sambil memeluk tubuh seorang gadis yang telah kehilangan
jiwanya itu adalah sang pemeran utama. Tangisan, rintihan dan teriakan
frustasinyalah yang telah mengoyak jiwaku. Gumam kata maafnya, seolah menambah
remuk jiwaku yang telah lumpuh.
Aku berteriak,
menyumpahinya dengan puluhan sumpah serapah yang terlintas di kepalaku.
Menyadarkannya, bahwa kepiluannya tak
akan dapat mengembalikan apa yang telah direnggut takdir darinya. Aku menarik
untaian rambut panjangku, kesadaran yang menghujamku telak membuatku ikut
didera frustasi. Bahkan di keadaan lain,
dia sama sekali tidak mau mendengarkanku.
Aku ikut
bersimpuh, biarlah rasa pilu hatiku semakin menjadi dengan menyentuhnya.
Setidaknya ini yang terakhir, sebelum takdir yang telah memaksaku berhenti pada
titik ini mendorongnya untuk menjauh.
Dia, milikku.
Tengah berjuang mempertahankan kewarasannya karena takdir, yang begitu kejam
mempermainkan hatinya. Tangan besarnya yang biasanya menopangku ketika aku
mulai goyah, kini hanya bisa terdiam memeluk seonggok jasad tak bernyawa. Mata
cokelatnya yang semula tampak hidup, berbinar setiap mendengar tawaku, kini
nampak kosong, bak tak pernah ada secercah kehidupanpun di dalamnya. Rahangnya
yang kokoh, yang begitu kukagumi, kini telah kehilangan wibawanya karena
untaian air mata.
Dadaku terasa
sesak, seiring dengan air mata yang lolos dari lubang mataku. Kumohon Tuhan,
jangan biarkan kasihku tenggelam dalam penyesalannya. Jangan biarkan dia hancur
seiring kepergianku, kumohon.
Batinku
terluka, jiwaku hancur. Lebur dalam luka
yang tertoreh dalam diri kekasihku. Ya...kekasihku, laki-laki tampan itu
adalah kekasihku. Orang yang memberikan warna dalam hidupku selama beberapa
bulan terakhir, sebelum takdir....merenggut apa yang selama ini kusebut dengan
kehidupan.
Seolah tak
puas dengan itu, takdir kini bermain lebih kejam dengan menyiksa perasaan
kekasihku. Aku ingin mengutuk takdir, yang begitu kejam pada orang-orang di
sekitarku. Setelah 12 tahun yang lalu, dengan kejam takdir merenggut orangtuaku
dalam sebuah kebakaran besar, kemudian memaksa kakakku yang saat itu masih
begitu muda untuk menggantikan ayah dalam pekerjaan, hanya demi membiayai
pengobatanku. Kini, takdir mulai bermain-main dengan kehidupan kekasihku.
Aku membelai
wajahnya, hangat tubuhnya bahkan masih terasa sama dengan terakhir kali aku
menyentuhnya. Wajahnya masih demikian tampan, hanya goresan luka yang
dilukiskan takdir terlihat begitu mendominasi wajahnya. Ada lingkaran hitam
mengerikan di sekitaran matanya, entah karena terlalu banyak menangis, atau
karena begadang setelah pertengkaran kami kemarin.
Aku kembali
menatap keluar jendela, hujan mulai reda. Namun, tidak begitu dengan air mata
kesedihan kekasihku. Mata cokelatnya yang indah masih saja setia mengucurkan
cairan bening itu. Kedua tangannya juga masih tidak beranjak dari tubuh gadis
tak bernyawa itu. Seolah berusaha menahan jiwanya agar tetap tinggal, meski dia
sendiri sadar, gadis itu tidak akan membuka matanya lagi.
Dia mengacak
rambutnya untuk yang kesekian kali, jelas...jiwanya hampir tiba di ambang
kewarasan. Kenyataan itu membuat hatiku kembali mengernyit perih. Andai dia
mendengarku, akan aku katakan untuk menguburkan gadis itu bersama semua luka
dan rasa kecewa yang dia rasakan. Kemudian memintanya menjalani hidupnya dengan
baik, mencari istri, menikah dan memiliki sebuah keluarga yang bahagia.
Namun, aku
sendiri tahu tidak ada gunanya berandai-andai. Dia bahkan tidak pernah
mendengarkanku hingga kemarin. Saat kami bertengkar hebat dan dia memutuskan
untuk pergi.
Lalu aku
melihatnya kembali pagi ini, membuka pintu kamarku tanpa mengetuk seperti
kebiasaannya dan langsung menerjang jasad gadis yang teronggok di samping
ranjangku. Keringat mengucur deras di dahinya saat itu. Kemudian digantikan
dengan air mata begitu menyadari... gadis yang ada dipelukannya hanya seonggok
raga tanpa jiwa.
Oh...kalian
pasti bertanya-tanya mengapa aku tidak merasa sakit hati saat kekasihku memeluk
gadis itu dan menangis untuknya. Jawabannya sederhana, karena gadis itu adalah
aku.
Ya...aku telah
mati beberapa jam yang lalu. Hanya, perasaan kekasihku yang tak merelakanku
pergi, membuatku tetap tertahan di dunia yang fana ini. Aku tahu harusnya aku
tidak di sini. Tapi aku tak bisa melawan takdir yang masih mengikatku dengan
hati kekasihku.
Aku hanya bisa
berharap. Seseorang akan datang dan bicara dengan kekasihku, membuat dia rela
melepasku tanpa beban. Hingga cintanya tidak lagi mengikatku, dan menjadikanku
kekasih dalam bayangan.
Dalem banget kak:'
BalasHapus:''
BalasHapusGila ini sih penuh penghayatan banget nulisnya
BalasHapus