Cerpen Rumah?
Rumah?
Aku dilahirkan
di sebuah gang pada malam yang gelap. Aku bahkan masih ingat dingin hujan yang
menyentuh bulu abu-abuku saat aku baru saja merasakan kehidupan.
Ibu merawat
aku dan 2 saudaraku yang lahir pada malam yang sama dengan penuh kasih sayang.
Tak jarang dia harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk memberi kami sedikit
makanan.
Namun, itu
tidak berlangsung lama. Setahun kemudian, aku kehilangan ibuku saat kami tengah
mencari makan di sebuah rumah makan. Aku harus mulai mencari makan sendiri,
mempertaruhkan nyawaku untuk sepotong daging sisa bahkan kadang hanya sekedar potongan
tulang.
Hingga suatu
hari aku bertemu seorang gadis yang baik hati. Gadis itu bahkan tidak marah
saat aku mencuri makan siangnya dengan sengaja. Dia membawaku pulang ke rumah
kecilnya dan membiarkanku tidur dalam sebuah kotak sepatu bekas. Untuk pertama
kalinya aku tahu rasanya punya rumah, hanya karena kotak sepatu bekas berwarna
biru yang menjadi tempat tidurku.
Gadis itu,
yang belakangan kuketahui bernama Nexia, memberiku nama Lulu. Aku sangat suka
nama itu, mungkin karena aku melihat ketulusan saat dia memberikannya.
Aku hampir
selalu menghabiskan waktu di kotak sepatu itu, walau hanya bermain dengan
gumpalan benang bekas syal yang Nexia berikan. Terkadang, Nexia menemaniku
bermain, mungkin dia jenuh karena di rumahnya ini memang hanya ada kami berdua.
Selain kotak
yang kusebut rumah itu, aku lebih suka bergelung di pangkuan Nexia. Membiarkan
jemari lentiknya bermain dengan bulu-buluku yang sudah memanjang, mengelusnya
hingga aku mendengkur dan segera terlelap dalam alam mimpi. Ya...aku kucing
kecil yang manja, karena aku selalu merengek minta elus setiap kali melihat
Nexia. Kadang gadis itu marah saat aku melakukannya, mungkin karena dia sudah
terlalu lelah dengan pekerjaannya sebagai seorang editor di salah satu
perusahaan penerbitan terkenal di Prancis.
Beberapa bulan
kemudian badai salju menerjang kota Paris. Membuat orang-orang lebih memilih
berdiam diri dalam rumah daripada
mengambil resiko menjadi salah satu bongkahan es di luar. Nexia terlihat
kebingungan, pasalnya penghangat ruangan
yang sudah hampir rusak itu tidak lagi mampu menghangatkan tubuhnya. Ditambah
lagi api dari perapian yang sudah hampir padam karena bahan bakar yang mulai
menipis.
Nexia
mengangkat tubuhku dari rumah kecilku dan melemparkannya ke dalam perapian. Api
langsung berkobar dengan cepat melahap rumah kecilku, membuat udara seketika
terasa hangat. Nexia menghela nafas lega sambil mengusap kepalaku, sementara
aku, hanya mampu menatap rumah pertamaku yang mulai habis dilahap api.
Beberapa
minggu kemudian, cuaca kota Paris mulai membaik. Nexia sudah berangkat bekerja
sejak 1 jam yang lalu, sedangkan aku hanya berjalan mengelilingi ruang tamu
dengan bingung. Tidak ada lagi tempat khusus untukku bermain benang, semua
sudah terbakar beberapa minggu yang lalu.
Tanpa sengaja
aku menginjak sebuah kotak kecil yang biasa digunakan Nexia untuk menyalakan
perapian. Aku membawa kotak kecil itu ke tengah karpet, dan berusaha
mengeluarkan isinya dengan cakarku.
Sebatang kayu
kecil muncul dari salah satu sisinya. Dengan cepat kugesekkan batang kayu itu
dengan kotaknya. Api memercik, merambat dengan cepat membakar karpet tepat
sebelum aku menyingkir. Aku berlari keluar dan menatap rumah kecil itu yang
mulai terbakar dari kejauhan. Ya...Nexia juga harus tahu bagaimana rasanya
kehilangan tempat tinggal.
Komentar
Posting Komentar