Cerpen: Taman Magis
TAMAN MAGIS
Gadis itu masih di sana. Duduk di sudut kamar sambil
memeluk lututnya, air mata masih setia membasahi wajah cantiknya, meski
berkali-kali diseka dengan kasar, cairan bening itu tetap tak jera mengalir
dari sudut matanya. Dia mendesah pelan, kemudian berjalan gontai menuju meja
belajar yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk. Tangan mungilnya mulai
sibuk mengorek-orek isi laci, berharap menemukan sesuatu
yang sangat ia butuhkan saat ini.
Tangannya terulur menyentuh kotak musik berbentuk hati
dari dalam laci, perlahan diambilnya kotak musik itu dan dibawanya duduk di
sudut kamar. Tangannya mulai sibuk menelusuri setiap jengkal kotak musik itu,
warnanya biru gelap dengan sedikit perpaduan warna perak. Inisial “ID” yang
berarti Indah & Devan, terukir di salah satu sisinya.
Diputarnya kunci yang tertancap pada kotak musik itu
perlahan kemudian dilepaskan, instrument musik Beethoven, Violin Romance 2 mengalun memenuhi setiap sudut kamar
itu. Perlahan matanya mulai terpejam, terbuai indah nada dari kotak musik itu.
Matanya terpejam begitu rapat hingga dia tidak menyadari bahwa lampu kamarnya
seperti sedang dimainkan seseorang, sebentar mati, kemudian hidup lagi, dan
mati lagi, lalu hidup lagi, begitu terus berulang hingga cukup lama. Tiba-tiba
lampu itu mati, tidak ada tanda-tanda akan hidup lagi dalam waktu dekat. Dia
merasakan seseorang membelai lembut puncak kepalanya, seolah memberi ketenangan
bagi jiwanya yang tengah kacau.
***
“Indah.,”
Gadis itu membuka matanya perlahan, matanya menatap nyalang
kesegala penjuru tempat itu untuk mencari seseorang yang tadi menyebut namanya.
Dia tengah berada di sebuah tempat, dengan rumput yang menghampar bak permadani
hijau disetiap jengkal matanya memandang, di beberapa sisi terdapat sekumpulan
bunga mawar putih yang sangat indah, dia tersenyum kecil. Kemudian mendongak
sedikit keatas, melihat langit yang mulai berwarna kemerahan.
“Indah, kau mau ikut aku atau terus menerus duduk di
sana melihat senja ?” bisik seseorang tepat di depan telinganya. Indah menoleh
kesumber suara dan mendapati seorang laki-laki tampan dengan lesung pipi di
kedua pipinya tengah tersenyum padanya.
“Entahlah Devan, aku takut melewati batasku,” kata
Indah dengan tatapan sendu.
“Aku mencintaimu, aku tidak akan membuatmu melewati
batasmu,” bujuk Devan masih dengan senyum manis di bibirnya. Indah mata Devan
sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dan mengangguk samar. Dia tahu betul apa
yang Devan pikirkan meski hanya menatap matanya sekilas.
“Aku tadi melihatmu menangis, kenapa?” tanya Devan
saat mereka tengah berjalan menelusuri hamparan permadani hijau itu.
“Aku yakin kau melihat apa yang terjadi padaku
sebelum itu, jangan pura-pura tidak tahu Devan, aku tahu kau ada di sana, dasar
hantu tukang nguping,” jawab Indah sambil terkekeh pelan.
“aku memang lihat, tapi aku hanya ingin mendengarnya
darimu, dan berhenti memanggilku hantu, karena aku bukan hantu,”ancam Devan
dengan suara yang di seram-seramkan.
“Lalu apa? roh atau arwah?” goda Indah sukses
membuat Devan mencebik kesal.
Tiba-tiba saja Indah menghentikan langkahnya, ia
merasakan nyeri menerjang sekujur tubuhnya. Dia berjongkok sambil berteriak
kesakitan, tubuhnya seperti dihujani ribuan panah berapi, begitu panas dan
perih. Devan hanya menatap Indah dengan nanar, sungguh teriakan kesakitan Indah
begitu menyayat hatinya. Ingin rasanya ia bangkit dan membantu Indah, tapi ia
tidak bisa. Dia harus menekan rasa sakitnya jika ingin tujuannya berhasil. Tapi
tiba-tiba ada cahaya memancar melingkupi tubuh Indah, membawanya menghilang dari
hadapan Devan.
***
Indah mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha
menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu kamarnya. Diliriknya jam yang ada di
atas nakas, setengah tiga pagi. Dia mendesis ketika merasakan pedih di lengan
kirinya. Ada sebuah luka di sana, cukup dalam dan hampir menyentuh urat
nadinya. Darahnya mengalir mewarnai gaun
malam barwarna pink pudar miliknya. Dia mengambil P3K dari dalam laci dan mulai
mengobati lukanya sebelum akhirnya membalutnya dengan plester.
Sebuah bayangan muncul di depan Indah, sedikit samar
lalu semakin lama semakin jelas.
“Aku tidak akan melakukannya lagi,” kata Indah pada
bayangan itu.
“Tapi kenapa?, aku janji akan menjagamu agar tidak
melewati batas lagi,” kata bayangan yang
ternyata adalah Devan itu sambil menatap sendu pada Indah.
“Omong kosong Devan, kau ingin membunuhku, akui
saja, aku tidak sebodoh itu. Kau ingatkan?, mata orang lain itu seperti buku
bagiku,” kata Indah dengan penuh penekanan.
“Aku melakukannya karena aku mencintaimu,” jawab
Devan dengan kepala tertunduk.
“Persetan dengan cinta, kau ingin membunuhku. Kau
selalu membuatku melewati batasku, mengira tubuhku tidak mampu dan akhirnya
mati, iya kan?!” teriak Indah, terlihat selaput bening melapisi matanya,
menunggu gilirannya untuk menetes.
“Kau tidak mengerti Indah, betapa sakitnya berada di dekatmu, menatapmu,
berbicara padamu tanpa sedikitpun bisa
merasakan hangat tubuhmu,”
“Tapi tidak harus dengan membunuhku, kau tahu aku
harus tetap hidup untuk membuktikan pada mereka yang mencaciku bahwa aku mampu,”
teriak Indah frustasi, air matanya telah sukses membasahi wajah cantiknya,
lagi.
“Aku tidak tahu cara lain,” bela Devan. Indah
menyeka air matanya dengan kasar, kemudian menatap Devan tajam.
“Dengarkan aku hantu gila. Mulai detik ini, jangan
pernah mencoba menampakkan dirimu di hadapanku apalagi mendekatiku, karena aku
sangat membencimu,”
“Indah..,” bisik Devan dengan suara bergetar.
“Kau tahu Devan, aku benci jadi gadis indigo,
semuanya membuatku merasa berbeda dari yang lain, meskipun dengan kelebihan ini
aku bisa melihatmu. Aku lebih baik menangisi kepergianmu selama berbulan-bulan
daripada harus mati untuk bisa bersamamu, aku mencintaimu, tapi cinta itu
mungkin sudah tertutup oleh rasa benci,” kata Indah, tak ada setetespun emosi
dalam kalimatnya, semua murni dari dalam hatinya.
“Aku akan melakukannya Indah,” bisik Devan. Tangannya
terulur menyentuh jam tangan hitam di atas nakas sebelum akhirnya tubuhnya
memudar dan hilang.
Indah berjalan gontai menuju nakas, kakinya masih
terasa sakit, mungkin karena ia melampaui batasnya terlalu jauh tadi. Tangannya
terulur mengambil jam tangan hitam dari nakas, jam ini hampir tak pernah
digunakannya. Hanya dia pajang di kamarnya, yang sebenarnya lebih mirip rumah
boneka daripada kamar. Di genggamnya jam tangan itu hingga buku jari tangannya
memutih. Dia tahu Devan tidak benar-benar pergi, dia masih disini.
Komentar
Posting Komentar